
Siang
harinya mereka beristirahat seperti biasanya, sambil bercerita dan bercanda
satu dengan lainnya, namun kebahagiaan mereka siang ini tiba-tiba terhenti.
Mereka semua kaget melihat sekelompok manusia mendatangi hutan mereka tinggal,
manusia itu membawa alat ukur dan gulungan kertas panjang.
“Mau
apa mereka?” kata salah satu burung.
“Entahlah,
baiknya kita sembunyi dulu dibalik pohon,” sahut burung lainnya.
Betapa
terkejutnya mereka ternyata sekelompok manusia itu sedang membicarakan
pembangunan perumahan di area hutan mereka tinggal.
“Kalau
begitu kita pindah ke hutan bagian dalam saja,” kata kepala suku kawanan burung
tersebut.
Mereka
berkemas-kemas dengan hati yang sedih dan pindah ke hutan bagian dalam dan
membangun tempat tinggal baru.
Kedamaian
mereka kembali berlangsung, namun sayang kebahagiaan itu hanya bertahan seminggu
karena sekelompok manusia yang sama mendatangi tempat mereka.
“Wah,
kita harus bagaimana?” para burung berteriak-teriak. Lalu di saat bersamaan
terdengarlah suara geledek menggelegar tanda hujan lebat akan turun, para
burung terbang tunggang langgang mencari tempat hinggap, tapi sekelompok
manusia itu tetap saja melanjutkan kerjanya memotong pohon.
Dua
ekor anak burung yang masih kecil, kakak beradik bernama Pipit dan Puput,
tertinggal dari kelompoknya yang sudah terbang entah kemana. Mereka terpaksa
hinggap di pohon satu-satunya yang masih tersisa di area tersebut, namun pohon
tersebut hanya tinggal ranting-ranting kecil karena sebagian sudah dibabat oleh
sekelompok manusia tadi yang tidak sempat menyelesaikan pekerjaannya karena
hujan turun amat deras.
“Kakak,
teman-teman kita jahat, kita tinggal berdua disini, mereka tidak peduli dengan
kita, padahal selama ini kita tidak pernah menyakiti mereka,” keluh Puput.
Pipit
menenangkan adiknya, “Kakak yakin mereka tidak bermaksud demikian.”
“Ahhhhh…..,
kakak, tapi kenyataannya seperti ini, kak”, bantah Puput sambil
menghentak-hentakkan kakinya ke dahan-dahan.
“Put,
jangan dihentak seperti itu, nanti dahannya patah,” kata Pipit.
Mereka
berdua mulai kedinginan karena dahan pohon tersisa yang dapat menutupi tubuh
mereka memang hanya sedikit. Puput terus marah-marah dan berniat terbang
hujan-hujanan mencari tempat baru.
“Puput,
kita berteduh disini saja, kita nikmati suara hujan, nanti setelah hujan kamu
pasti suka mencium wangi tanah yang tersiram air hujan dan juga menikmati
indahnya pelangi”, hibur Pipit kepada Puput.
Puput
yang sudah mulai kecapaian karena mondar-mandir diatas dahan, akhirnya terlelap
tidur dipelukan kepak sayap sang kakak.
Sang
kakak, sebenarnya sudah mulai kedinginan, tapi karena kepak sayapnya harus
menahan badan adiknya maka tubuhnya menjadi hangat.
Dalam
hatinya Pipit berdoa sambil menepuk-nepuk badan adiknya yang sedang tertidur
dengan sayapnya, “Terima kasih Tuhan, walau hujan membuatku sedikit kedinginan
tapi terpaan lembut percikan air hujan menyegarkan wajahku. Suara rintik hujan
yang tinggi rendah serta bunyi geledek bagaikan bunyi drum dalam konser musik
manusia, juga asik untuk dinikmati.”
Pipit
memejamkan matanya dan menoleh ke arah wajah adiknya yang benar-benar sudah
terlelap.
Pipit
menikmati hujan dan teringat akan pelangi yang biasanya muncul sehabis hujan.
Pipit tidak sabar menantikan pelangi yang akan datang sehabis hujan, “pelangi
itu indah sekali,” katanya dalam hati.
Selang
waktu satu jam, hujan berhenti dan pelangi mulai terlihat. Pipit membangunkan Puput
dan menagajaknya terbang-terbang di bawah pelangi yang indah.
Puput
pun menjadi gembira kembali karena melihat pelangi.
Mereka
terbang dan bercanda di bawah pelangi, kesedihan atas hilangnya tempat tinggal
mereka juga sirna, mereka berdua bergembira.
Lekukan
pelangi mengarahkan pandangan mereka ke suatu area nan hijau dihiasi warna
merah, kuning, ungu.
“Adikku,
kita coba ke arah area itu, tampaknya indah sekali,” kata Pipit.
Mereka
terbang ke area tersebut dan alangkah takjubnya mereka melihat area taman yang
indah. Pada area tersebut juga hidup beberapa jenis burung dan kupu-kupu.
“Saudaraku,”
sambut seekor kupu-kupu.
Pipit
dan Puput ragu-ragu menjawabnya karena mereka meragukan sang kupu-kupu dan
penghuni taman ini senang menerima kehadiran mereka.
Tidak
lama kemudian, datanglah beberapa burung dan kupu-kupu lainnya dan tambah
gentar lah Puput dan Pipit.
“Kalian
tidak punya tempat tinggal atau tersasar,” tanya seekor burung nuri.
“Tempat
tinggal kami digusur manusia yang ingin membangun perumahan di hutan pinggir
jalan tempat tinggal kami itu,” kata Pipit.
Lalu
Pipit bercerita panjang lebar perjalanan mereka sehingga sampai di taman ini.
Para
burung dan kupu-kupu penghuni taman mengajak Puput dan Pipit tinggal di tempat
mereka. Puput dan Pipit diajak ke area pancuran air untuk mandi lalu
beristirahat.
Tidak
lama kemudian, Puput dan Pipit kaget melihat seorang manusia datang menghampiri
mereka.
“Kakak,
aku takut….ada manusia juga disini,” teriak Puput sambil mau menangis.
Melihat
Puput panik, seekor burung nuri menghampiri, “jangan takut, Puput, dia manusia
yang merawat taman ini menjadi indah,
manusia ini baik kepada kami dan peduli lingkungan sehingga mau mendirikan
taman ini untuk menjaga penghijauan kota.”
“Jadi
manusia yang ini beda yah, dia memelihara tanaman bukan menebang dan mengusir
kami,” sahut Puput.
“Iyalah
adikku, kamu ingat pelangi indah yang muncul sehabis hujan tadi….. begitu
dengan temapt tinggal baru kita di taman yang indah ini diberikan Tuhan
bagaikan pelangi sehabis hujan tadi”.
Pesan dari cerita ini
“bersungut-sungut di masa susah tidak akan menyelesaikan masalah, tapi jika
kita bersabar melewatinya serta tetap bersyukur dan berusaha maka jalan keluar
akan datang untuk kita” dan cerita ini juga mengingatkan kita untuk
melestarikan alam.
Catatan
: pelangi sengaja tidak dituliskan selalu muncul sehabis hujan karena di
Jakarta sulit sekali menemukan pelangi dan wilayah cerita juga dibatasi di
suatu daerah di pulau Jawa yang mungkin masih sering muncul pelangi.
Oleh,
Kumala Sukasari Budiyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar