Pada
suatu rumah besar, hiduplah sekawanan semut dan sekawanan kacoa. Mereka
masing-masing tinggal di bagian yang berbeda pada rumah besar itu dan tidak
saling mengenal satu dengan lainnya,
Mereka
hidup bahagia disana karena sisa makanan di rumah itu selalu berlimpah, namun
kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama karena manusia pemilik rumah pindah
ke luar negeri dan rumah besarnya ini ditinggalkan dalam keadaan kosong.
Kondisi
ini membuat kawanan semut dan kawanan kacoa kesulitan mencari makanan.
Masing-masing
berpikir mencari jalan keluar, namun sudah berhari-hari berlalu belum juga ditemukan
jalan keluar padahal persediaan makanan sudah hampir habis.
Beberapa
anggota kawanan kacoa melakukan peninjauan ke seluruh penjuru rumah dan mereka
menemukan suatu tempat yang mungkin bisa menjadi tempat baru mereka.
“Kak,
di pojok sana kita bisa menemukan sisa makanan dari tetangga rumah ini,” kata
seekor Kacoa bernama Coa.
“Wah,
tapi disana tempat tinggal sekawanan semut. Bagaimana mungkin kita mengusir
mereka,” kata kacoa lainnya bernama Kaka.
“Iya
juga,” kata Coa.
Mereka
berdua kembali ke kawanannya dan melaporkan hasil peninjauan mereka.
Beberapa
anggota kawanan kacoa mulai panik mendengar laporan mereka, namun kepala suku
kacoa mengajak mereka tenang dan terus mencari jalan keluar tanpa putus asa.
“Kepala
suku, bagaimana kalau kita tawarkan barter kepada kawanan semut?” tanya seekor
kacoa muda bernama Mucoa.
“Barter
seperti apa, Mucoa?” kata kepala suku.
“Kita
tawarkan mereka pindah di tempat kita dan kita pindah ke tempat mereka. Disini banyak
pohon yang buah dan bunganya bisa menjadi makanan mereka,” kata Mucoa
tersenyum.
Semua
kawanan kacoa setuju dengan ide Mucoa. Kepala suku segera menunjuk beberapa
perwakilan termasuk Mucoa untuk menghadap kawanan semut,
Belum
tiba mereka di depan sarang kawanan semut, beberapa semut yang melihat mereka
lari tunggang langgang ketakutan.
Kawanan
semut dengan kompaknya menutup lubang sarangnya karena takut.
Para
perwakilan kacoa berkata dengan bahasanya menjelaskan maksud baiknya untuk melalukan
barter tempat tinggal, tapi semua kawanan semut bersembunyi di dalam sarangnya.
Perwakilan
kacoa terus berkata-kata bergantian sampai lelah tapi kawanan semut masih terus
bersembunyi.
“Bagaimana
ini, semut-semut ini tidak mengerti bahasa kita?” kata salah satu kacoa.
“Coba
kita senyum lebar semuanya, biar kawanan semut tidak takut,” kata Kaka.
Sudah
lima menit mereka senyum, tapi kawanan semut masih tetap menunjukkan reaksi
yang sama dan bahkan mulai melempari mereka dengan sesuatu seperti bubuk.
“Kaka,
mungkin kita harus menari-nari dihadapan mereka?” kata Mucoa.
“Ahhhh….
ide aneh, tapi ayolah kita coba,” jawab Kaka.
Mereka
terus menari dan hasilnya kawanan semut makin ketakutan. Para perwakilan
kawanan kacoa menjadi putus asa dan
beberapa kacoa mulai terpancing emosinya dan mulai berpikir untuk melakukan
perang terbuka.
“Kaka,
jangan berpikiran seperti itu. Maksud kita awalnya baik jadi harus dilakukan
dengan cara yang baik pula,” kata Mucoa.
“Iya,
iya. Tadi aku emosi saja,” kata Kaka.
Para
perwakilan kacoa akhirnya kembali ke sarangnya dan melaporkan ke kepala suku
kalau mereka gagal melakukan negosiasi karena kawanan semut tidak mengerti apa
yang mereka katakan.
Kepala
suku terdiam dan setelah berpikir sekian jam, dia mendapatkan ide,”Aku punya
sahabat yang mengerti bahasa semut. Tapi……,, dia sudah meninggal. Aku tidak
tahu apakah dia menurunkan keahliannya pada anak-anaknya.”
“Mereka
tinggal dimana, pak ketua,” kata Mucoa.
“Di
rumah besar di seberang jalan sana,” jawab pak ketua.
“Ijinkan
aku kesana menemui mereka,” kata Mucoa.
“Mucoa,
tapi perjalanan kesana berbahaya! Harus menyeberangi jalan raya,” kata Kaka.
“Tapi
aku harus mencobanya. Aku akan berangkat tengah malam saat jalanan sepi,” jawab
Mucoa.
Dengan
susah payah, Mucoa akhirnya tiba di sarang kawanan anak kacoa teman kepala
suku, namun sayangnya anak-anak kacoa ini tidak mengerti bahasa semut seperti
ayahnya.
“Ehmmm,
tapi ayah ada menitipkan aku suatu catatan, mungkin kamu bisa menemukan arti
bahasa pada catatan itu,” kata salah satu dari mereka.
Mucoa
membaca catatan yang diberikan dan syukurlah catatan itu benar terjemahan
bahasa kacoa dan semut.
“Ayahmu,
luar biasa,” puji Mucoa kepada salah satu anak kacoa teman kepala suku itu.
Mucoa
langsung mencari arti bahasa yang akan disampaikannya lalu segera kembali ke
sarangnya.
Mucoa
dan beberapa perwakilan kacoa kembali mendatangani kawanan semut dan seperti
sebelumnya kawanan semut menunjukkan sikap ketakutan dan tidak bersahabat.
Mucoa
berusaha sekuat tenaga mengucapkan bahasa semut yang bunyinya seperti musik
akuistik. Sesekali Mucoa merasa takut salah tapi dengan percaya diri dia terus
mengucapkannya.
Tiba-tiba
terdengar suara balasan dari dalam sarang semut. Mucoa kaget dan tidak mengerti
artinya karena dia hanya mencatat kata-kata yang diucapkan.
Kepala
suku kawanan semut sepertinya mengerti kebingungan Mucoa dan akhirnya dia
mengucapkan kata-kata yang sama seperti yang diucapkan Mucoa sebagai tanda
kalau mereka setuju.
Mereka
segera melakukan barter tempat tinggal dan kembali hidup nyaman. Perbedaan bahasa
ini akhirnya menarik perhatian kedua belah kepala suku kawanan semut maupun
kacoa untuk saling mempelajari bahasa antar kawanan ini dan kelak bahasa semut dijadikan
mata pelajaran bahasa asing pada sekolah anak-anak kacoa dan juga sebaliknya.
Oleh, Kumala Sukasari
Budiyanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar