Siti,
anak ibu Surti penjual kue cucur di depan sekolahku selalu menemani ibunya berdagang.
Aku perhatikan beberapa hari ini, Siti terkagum-kagum melihat baju seragam
SD-ku ini.
Pada
suatu hari aku bertanya kepada adik Siti, "kamu suka dengan baju seragam
ini yah?"
"Bukan
bajunya, kak, tapi aku ingin sekolah di sekolah kakak, tapi kata ibu, aku
takkan bisa sekolah di sekolah kakak," kata Siti sedih.
"Ah
masa, gampang kok sekolah disini," jawabku dengan percaya diri.
Saat
aku tiba di rumah aku bercerita kepada mama tentang harapan Siti bersekolah di
sekolahku tapi ibunya mengatakan Siti tidak akan bisa sekolah di sekolahku.
"Wah...sekolahmu
sekolah favorit jadi uang sekolahmu itu mahal, nak! Kalau tahun lalu papamu
tidak mendapat bonus untuk membayar uang pangkalnya, kamu tidak mungkin sekolah
disana," jawab mama.
Aku
kaget sekali ternyata orang tua ku telah berkorban banyak untukku, bonus kerja
papa untuk bayar uang pangkal sekolahku dan mereka tidak memakainya untuk
kesenangan mereka. Aku menjadi merasa bersalah karena aku pernah beberapa kali
membantah papa dan mama yang telah banyak berkorban untukku.
"Ting...tong...ting...tong,"
bunyi bel rumahku dan terdengar suara mama minta bantuanku untuk membukakan
pintu.
Aku
yang baru tersadar akan begitu besar kasih sayang mama dan papa, langsung
bergegas menjalankan perintah mama.
"Halo,
Vina," sapa tante Fei saat aku membuka pintu.
Tante
Fei adalah adik mama yang tinggal di Bogor dan menjadi guru disana.
"Vina,
temani tante Fei dulu yah," terdengar suara mama dari dapur.
Tante
Fei mengajak aku bermain congklak, permainan mama dan tante Fei waktu kecil,
aku senang sekali.
"Tante,
apa bedanya sekolah yang mahal dan murah?" tanyaku spontan disaat serunya
permainan congklak kami.
"Kenapa
tiba-tiba bertanya begitu, Vin?" tanya tante Fei terkejut.
Aku
menceritakan bahwa aku baru tahu uang sekolahku mahal dan aku bingung kenapa papa
dan mama memilih sekolah ini untukku. Aku juga memikirkan jawabanku kepada adik
Siti, anak bu Surti penjual cucur, papaku yang penghasilannya jauh lebih besar
dari bu Surti, harus menunggu bonus dari perusahaan untuk membayar uang pangkal
sekolahku, bagaimana dengan bu Surti.
Tante
Fei tersenyum dan berkata, "itulah kehidupan, vin, tidak semua orang
memiliki kesempatan yang sama namun untuk mencapai suatu tujuan setiap orang
tidak perlu mengambil jalan yang sama."
"Waduh...tante...aku
tidak paham...," kataku bingung.
"Begini,
tujuan utama kamu sekolah apa?" tanya tante Fei.
"Menuntut
ilmu," jawabku lantang.
"Bukan
mau duduk-duduk nyaman di bangku sekolah kan? Atau mau memakai seragam yang
keren kan?" tanya tante Fei.
"Tentulah,
tante," jawabku.
"Tidak
selalu pendidikan yang baik diperoleh dari sekolah yang mahal, yang penting
keinginan siswa itu sendiri untuk belajar," kata tante Fei.
"Kalau
begitu mengapa papa dan mama memilih sekolah mahal?” tanyaku
“Karena
menurut mereka itulah sekolah yang terbaik untukmu dan kebetulan mereka sanggup
membiayainya,” jawab tante Fei.
“Oh
begitu…. Lalu. jika kata tante ada sekolah yang murah, mengapa masih banyak
anak-anak yang tidak dapat bersekolah? Kata tante, tidak semua sekolah
mahal?" aku bertanya karena teringat suatu berita di televisi yang
memberitakan masih banyak anak-anak yang tidak bersekolah.
"Iya,
memprihatinkan mereka tidak bisa membayar uang sekolah yang termurah
sekalipun…....... Namun, syukurlah, saat ini mulai banyak pekerja-pekerja
sosial tergerak hatinya, misalnya teman-teman tante yang membuat bimbingan
belajar gratis di lingkungan dekat sekolah anak, ibu-ibu ini memanfaatkan waktu
luang menunggu anaknya sekolah dengan berbuat kebaikan daripada mereka
bergosip," kata tante Fei.
"Oh
ya, tante, aku harus kasih tahu Siti nih....", aku tersenyum gembira.
"Nanti
tante bantu Siti cari sekolah murah yang bagus yah," kataku.
"Wah....tante
bangga dengan keponakan tante yang satu ini, makin pandai dan punya perhatian
dengan lingkungan juga," kata tante Fei sambil mengelus kepalaku.
"Ayo,
Fei, Vina, makan siang sudah siap," suara mama terdengar dari dapur,
diiringi wangi harum masakan yang membuatku semakin lapar.
Oleh,
Kumala Sukasari Budiyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar