Jumat, 02 Agustus 2013

Sekolah Impian



Siti, anak ibu Surti penjual kue cucur di depan sekolahku selalu menemani ibunya berdagang. Aku perhatikan beberapa hari ini, Siti terkagum-kagum melihat baju seragam SD-ku ini.
Pada suatu hari aku bertanya kepada adik Siti, "kamu suka dengan baju seragam ini yah?"
"Bukan bajunya, kak, tapi aku ingin sekolah di sekolah kakak, tapi kata ibu, aku takkan bisa sekolah di sekolah kakak," kata Siti sedih.
"Ah masa, gampang kok sekolah disini," jawabku dengan percaya diri.
Saat aku tiba di rumah aku bercerita kepada mama tentang harapan Siti bersekolah di sekolahku tapi ibunya mengatakan Siti tidak akan bisa sekolah di sekolahku.
"Wah...sekolahmu sekolah favorit jadi uang sekolahmu itu mahal, nak! Kalau tahun lalu papamu tidak mendapat bonus untuk membayar uang pangkalnya, kamu tidak mungkin sekolah disana," jawab mama.
Aku kaget sekali ternyata orang tua ku telah berkorban banyak untukku, bonus kerja papa untuk bayar uang pangkal sekolahku dan mereka tidak memakainya untuk kesenangan mereka. Aku menjadi merasa bersalah karena aku pernah beberapa kali membantah papa dan mama yang telah banyak berkorban untukku.
"Ting...tong...ting...tong," bunyi bel rumahku dan terdengar suara mama minta bantuanku untuk membukakan pintu.
Aku yang baru tersadar akan begitu besar kasih sayang mama dan papa, langsung bergegas menjalankan perintah mama.
"Halo, Vina," sapa tante Fei saat aku membuka pintu.
Tante Fei adalah adik mama yang tinggal di Bogor dan menjadi guru disana.
"Vina, temani tante Fei dulu yah," terdengar suara mama dari dapur.
Tante Fei mengajak aku bermain congklak, permainan mama dan tante Fei waktu kecil, aku senang sekali.
"Tante, apa bedanya sekolah yang mahal dan murah?" tanyaku spontan disaat serunya permainan congklak kami.
"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu, Vin?" tanya tante Fei terkejut.
Aku menceritakan bahwa aku baru tahu uang sekolahku mahal dan aku bingung kenapa papa dan mama memilih sekolah ini untukku. Aku juga memikirkan jawabanku kepada adik Siti, anak bu Surti penjual cucur, papaku yang penghasilannya jauh lebih besar dari bu Surti, harus menunggu bonus dari perusahaan untuk membayar uang pangkal sekolahku, bagaimana dengan bu Surti.
Tante Fei tersenyum dan berkata, "itulah kehidupan, vin, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama namun untuk mencapai suatu tujuan setiap orang tidak perlu mengambil jalan yang sama."
"Waduh...tante...aku tidak paham...," kataku bingung.
"Begini, tujuan utama kamu sekolah apa?" tanya tante Fei.
"Menuntut ilmu," jawabku lantang.
"Bukan mau duduk-duduk nyaman di bangku sekolah kan? Atau mau memakai seragam yang keren kan?" tanya tante Fei.
"Tentulah, tante," jawabku.
"Tidak selalu pendidikan yang baik diperoleh dari sekolah yang mahal, yang penting keinginan siswa itu sendiri untuk belajar," kata tante Fei.
"Kalau begitu mengapa papa dan mama memilih sekolah mahal?” tanyaku
“Karena menurut mereka itulah sekolah yang terbaik untukmu dan kebetulan mereka sanggup membiayainya,” jawab tante Fei.
“Oh begitu…. Lalu. jika kata tante ada sekolah yang murah, mengapa masih banyak anak-anak yang tidak dapat bersekolah? Kata tante, tidak semua sekolah mahal?" aku bertanya karena teringat suatu berita di televisi yang memberitakan masih banyak anak-anak yang tidak bersekolah.
"Iya, memprihatinkan mereka tidak bisa membayar uang sekolah yang termurah sekalipun…....... Namun, syukurlah, saat ini mulai banyak pekerja-pekerja sosial tergerak hatinya, misalnya teman-teman tante yang membuat bimbingan belajar gratis di lingkungan dekat sekolah anak, ibu-ibu ini memanfaatkan waktu luang menunggu anaknya sekolah dengan berbuat kebaikan daripada mereka bergosip," kata tante Fei.
"Oh ya, tante, aku harus kasih tahu Siti nih....", aku tersenyum gembira.
"Nanti tante bantu Siti cari sekolah murah yang bagus yah," kataku.
"Wah....tante bangga dengan keponakan tante yang satu ini, makin pandai dan punya perhatian dengan lingkungan juga," kata tante Fei sambil mengelus kepalaku.
"Ayo, Fei, Vina, makan siang sudah siap," suara mama terdengar dari dapur, diiringi wangi harum masakan yang membuatku semakin lapar.
 
Oleh, Kumala Sukasari Budiyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar