Jumat, 02 Agustus 2013

Lapar?


“Mama, aku lapar lagi,” itulah ucapan yang sering aku ucapkan pada mama.
 Tidak ada perkataan lain yang lebih sering kuucapkaan selain kalimat ini, jika dihitung, paling sedikit duapuluh kali dalam sehari kuucapkan kalimat ini.
Aku lapar bukan karena keluargaku tidak punya uang untuk membeli makanan, tapi sebaliknya aku selalu dikelilingi aneka makanan, di dalam tasku selalu tersedia aneka snack seperti kue jajanan pasar, roti, biscuit dan coklat, namun entah mengapa aku sering merasa lapar.
Pada suatu hari, aku diajak papa dan mama jalan-jalan ke Bali. Aku sangat senang dapat segera melihat indahnya pantai-pantai di Bali yang aku mimpi-mimpikan selama ini. Sudah terbayang dalam benakku indahnya pantai Kuta, Jimbaran, Sanur dan tentunya pantai Dreamland di daerah Uluwatu.
Tepat pukul sembilan pagi, pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Ngurah Rai, Bali dan aku mulai merasa lapar kembali. “Mama, aku lapar,” kataku.
“Setengah jam yang lalu, kamu baru makan nasi gulai yang diberikan mba pramugari. Sekarang, kamu sudah lapar lagi?” tanya mama heran.
“Tadi nasinya hanya aku makan sedikit, ma…, hanya ayamnya yang aku habiskan,” jawabku memelas.
Mama langsung membuka tasku dan mengambilkanku sepotong coklat.
Aku berjalan dari landasan pesawat ke ruang pengambilan bagasi sambil makan coklat.
Setelah mengambil bagasi, kami berjalan keluar bandara menuju bus pariwisata yang menunggu kami.
Sesampainya di bus, aku mulai merasa lapar kembali.
“Pak supir, sekarang kita ke rumah makan apa?” tanyaku.
Semua rombongan tertawa mendengar pertanyaanku.
“Adik, kita sekarang ke hotel terlebih dahulu untuk menaruh tas-tas kalian, setelah itu baru mencari tempat makan,” kata pak supir.
“Yahhh……. Mama, aku lapar,” kataku sambil menatap mama.
Setelah tiba di hotel, rombongan tour segera meletakkan tas di kamar masing-masing dan kemudian bergegas kembali ke bis. Belum sepuluh menit perjalanan, aku berkata pada pak supir, “Pak, berapa menit lagi sampainya, aku lapar.”
“Tiga puluh menit lagi, de,” kata pak supir.
“Aduhhhh, lama sekali…, mama, aku lapar,” kataku mulai resah.
Mama langsung mengeluarkan perbekalannya dan aku segera melahapnya. Aku bernyanyi-nyanyi dan berceloteh dan beberapa kali pula aku bertanya pada pak supir dengan pertanyaan yang sama, “Aku lapar, kapan sampainya.”
Semua anggota rombongan tampaknya senang terhadap celotehanku tapi aku mulai merasa mereka mulai heran terhadapku yang sering kelaparan, mereka yang dewasa saja tidak makan sesering aku. Terkadang aku merasa malu tapi apa daya aku memang benar-benar lapar.
Tidak lama kemudian, aku dan rombongan sampai di rumah makan yang terkenal enak makanannya, rumah makan yang menyediakan sup ikan di daerah pantai Sanur.
“Mama, mama, mana rumah makannya? Aku lapar,” kataku dengan nafas tersengal-sengal.
“Di ujung jalan sana. Kita harus jalan kaki kesana karena bis tidak bisa masuk,” kata mama.
Aku yang sudah mulai lemas berjalan digandeng oleh mama. Setibanya disana, rumah makan ini penuh, banyak orang antri. Aku merasa badanku semakin lemas. Setelah lima menit menunggu akhirnya ada tempat duduk, aku segera menikmati sup ikan dengan lahapnya.
Saat aku asik makan, aku melihat dua anak kecil kurus berdiri di depan rumah makan, mereka hanya terdiam melihat orang-orang yang sedang makan dan tidak mengantri seperti yang tadi kami lakukan. Aku penasaran dan setelah selesai makan, aku menghampiri mereka.
“Hai, kalian kenapa diam aja, tidak antri ke dalam? Kapan kalian bisa makan kalau tidak antri. Enak loh, sop ikan disini,” tanyaku polos.
“Wah, kamu bercanda….kami ini hanya pengemis, kami tidak mampu membeli makanan di dalam sana,” jawab salah satu dari mereka.
“Kalian sudah makan?” tanyaku merasa bersalah karena sudah salah menduga dan sudah membuat mereka sedih.
“Kemarin malam terakhir kami makan,” jawab mereka.
“Makan apa?” balasku.
“Nasi putih,” jawab mereka.
“Lauknya?” tanyaku penasaran.
‘Nasi saja, tanpa lauk. Kemarin termasuk hari baik kami mendapatkan nasi, terkadang kami hanya dapat membeli satu potong gorengan,” kata salah satu dari mereka.
Aku langsung takjub karena mereka makan sedikit sekali, sedangkan aku makan begitu banyak tapi sering merasa lapar. Melihat keprihatinan mereka aku jadi sadar ada yang salah dengan diriku.
“Teman, ini untukmu,” aku mengeluarkan semua perbekalan di tasku. Mereka langsung senyum sumringah melihat makanan yang aku berikan.
“Wah, kami belum pernah makan makanan ini,” kata mereka.
“Terima kasih banyak, tapi aku bingung mengapa kamu makan makanan seperti ini, jajanan yang  tidak mengenyangkan,” sambung mereka polos.
“Em…em…, iya sih aku memang sering merasa lapar,” jawabku sambil berpikir.
Tidak lama kemudian, mama menghampiri aku dan aku menceritakan semuanya.
“Mama, aku kasihan kepada mereka, mereka itu sering kelaparan karena memang tidak ada makanan yang mereka punya, tapi aku…aku…memiiki banyak makanan tapi sama-sama sering kelaparan, karena…karena…..” jawabku masih agak bingung.
“Hhmm…., karena kamu tidak mau mendengar nasihat mama untuk menghabiskan makanan yang disediakan dan jangan sering jajan,” jawab mama tersenyum.
“Maaf, deh, ma…,” jawabku.
“Bagaimana kalau jatah uang untuk membeli jajananmu yang berlebihan ini, mama kirimkan untuk dua teman barumu itu?” tanya mama.
Aku menyetujuinya dan dua anak pengemis teman baruku itu senang sekali. Mereka akhirnya bisa bersekolah kembali dari hasil uang jajanku yang aku sisihkan untuk mereka dan tubuhku yang gempal lambat laun menjadi normal kembali dan nafasku tidak tersengal-sengal lagi saat berjalan jauh.

Oleh, Kumala Sukasari Budiyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar