“Mama, aku lapar lagi,” itulah ucapan yang sering aku ucapkan pada mama.
Tidak ada perkataan lain yang lebih sering
kuucapkaan selain kalimat ini, jika dihitung, paling sedikit duapuluh kali
dalam sehari kuucapkan kalimat ini.
Aku
lapar bukan karena keluargaku tidak punya uang untuk membeli makanan, tapi
sebaliknya aku selalu dikelilingi aneka makanan, di dalam tasku selalu tersedia
aneka snack seperti kue jajanan pasar, roti, biscuit dan coklat, namun entah
mengapa aku sering merasa lapar.
Pada
suatu hari, aku diajak papa dan mama jalan-jalan ke Bali. Aku sangat senang
dapat segera melihat indahnya pantai-pantai di Bali yang aku mimpi-mimpikan
selama ini. Sudah terbayang dalam benakku indahnya pantai Kuta, Jimbaran, Sanur
dan tentunya pantai Dreamland di daerah Uluwatu.
Tepat
pukul sembilan pagi, pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Ngurah Rai,
Bali dan aku mulai merasa lapar kembali. “Mama, aku lapar,” kataku.
“Setengah
jam yang lalu, kamu baru makan nasi gulai yang diberikan mba pramugari. Sekarang,
kamu sudah lapar lagi?” tanya mama heran.
“Tadi
nasinya hanya aku makan sedikit, ma…, hanya ayamnya yang aku habiskan,” jawabku
memelas.
Mama
langsung membuka tasku dan mengambilkanku sepotong coklat.
Aku
berjalan dari landasan pesawat ke ruang pengambilan bagasi sambil makan coklat.
Setelah
mengambil bagasi, kami berjalan keluar bandara menuju bus pariwisata yang menunggu
kami.
Sesampainya
di bus, aku mulai merasa lapar kembali.
“Pak
supir, sekarang kita ke rumah makan apa?” tanyaku.
Semua
rombongan tertawa mendengar pertanyaanku.
“Adik,
kita sekarang ke hotel terlebih dahulu untuk menaruh tas-tas kalian, setelah
itu baru mencari tempat makan,” kata pak supir.
“Yahhh…….
Mama, aku lapar,” kataku sambil menatap mama.
Setelah
tiba di hotel, rombongan tour segera meletakkan tas di kamar masing-masing dan
kemudian bergegas kembali ke bis. Belum sepuluh menit perjalanan, aku berkata
pada pak supir, “Pak, berapa menit lagi sampainya, aku lapar.”
“Tiga
puluh menit lagi, de,” kata pak supir.
“Aduhhhh,
lama sekali…, mama, aku lapar,” kataku mulai resah.
Mama
langsung mengeluarkan perbekalannya dan aku segera melahapnya. Aku
bernyanyi-nyanyi dan berceloteh dan beberapa kali pula aku bertanya pada pak
supir dengan pertanyaan yang sama, “Aku lapar, kapan sampainya.”
Semua
anggota rombongan tampaknya senang terhadap celotehanku tapi aku mulai merasa
mereka mulai heran terhadapku yang sering kelaparan, mereka yang dewasa saja
tidak makan sesering aku. Terkadang aku merasa malu tapi apa daya aku memang
benar-benar lapar.
Tidak
lama kemudian, aku dan rombongan sampai di rumah makan yang terkenal enak
makanannya, rumah makan yang menyediakan sup ikan di daerah pantai Sanur.
“Mama,
mama, mana rumah makannya? Aku lapar,” kataku dengan nafas tersengal-sengal.
“Di
ujung jalan sana. Kita harus jalan kaki kesana karena bis tidak bisa masuk,”
kata mama.
Aku
yang sudah mulai lemas berjalan digandeng oleh mama. Setibanya disana, rumah
makan ini penuh, banyak orang antri. Aku merasa badanku semakin lemas. Setelah
lima menit menunggu akhirnya ada tempat duduk, aku segera menikmati sup ikan
dengan lahapnya.
Saat
aku asik makan, aku melihat dua anak kecil kurus berdiri di depan rumah makan,
mereka hanya terdiam melihat orang-orang yang sedang makan dan tidak mengantri
seperti yang tadi kami lakukan. Aku penasaran dan setelah selesai makan, aku
menghampiri mereka.
“Hai,
kalian kenapa diam aja, tidak antri ke dalam? Kapan kalian bisa makan kalau
tidak antri. Enak loh, sop ikan disini,” tanyaku polos.
“Wah,
kamu bercanda….kami ini hanya pengemis, kami tidak mampu membeli makanan di
dalam sana,” jawab salah satu dari mereka.
“Kalian
sudah makan?” tanyaku merasa bersalah karena sudah salah menduga dan sudah
membuat mereka sedih.
“Kemarin
malam terakhir kami makan,” jawab mereka.
“Makan
apa?” balasku.
“Nasi
putih,” jawab mereka.
“Lauknya?”
tanyaku penasaran.
‘Nasi
saja, tanpa lauk. Kemarin termasuk hari baik kami mendapatkan nasi, terkadang
kami hanya dapat membeli satu potong gorengan,” kata salah satu dari mereka.
Aku
langsung takjub karena mereka makan sedikit sekali, sedangkan aku makan begitu
banyak tapi sering merasa lapar. Melihat keprihatinan mereka aku jadi sadar ada
yang salah dengan diriku.
“Teman,
ini untukmu,” aku mengeluarkan semua perbekalan di tasku. Mereka langsung
senyum sumringah melihat makanan yang aku berikan.
“Wah,
kami belum pernah makan makanan ini,” kata mereka.
“Terima
kasih banyak, tapi aku bingung mengapa kamu makan makanan seperti ini, jajanan
yang tidak mengenyangkan,” sambung
mereka polos.
“Em…em…,
iya sih aku memang sering merasa lapar,” jawabku sambil berpikir.
Tidak
lama kemudian, mama menghampiri aku dan aku menceritakan semuanya.
“Mama,
aku kasihan kepada mereka, mereka itu sering kelaparan karena memang tidak ada
makanan yang mereka punya, tapi aku…aku…memiiki banyak makanan tapi sama-sama
sering kelaparan, karena…karena…..” jawabku masih agak bingung.
“Hhmm….,
karena kamu tidak mau mendengar nasihat mama untuk menghabiskan makanan yang
disediakan dan jangan sering jajan,” jawab mama tersenyum.
“Maaf,
deh, ma…,” jawabku.
“Bagaimana
kalau jatah uang untuk membeli jajananmu yang berlebihan ini, mama kirimkan
untuk dua teman barumu itu?” tanya mama.
Aku
menyetujuinya dan dua anak pengemis teman baruku itu senang sekali. Mereka
akhirnya bisa bersekolah kembali dari hasil uang jajanku yang aku sisihkan
untuk mereka dan tubuhku yang gempal lambat laun menjadi normal kembali dan
nafasku tidak tersengal-sengal lagi saat berjalan jauh.
Oleh, Kumala Sukasari
Budiyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar