Pada
zaman dahulu kala, hiduplah beberapa pohon di istana raja negeri Mentari,
pohon-pohon disana semuanya bisa berbicara dan menggerak-gerakkan bagian
tubuhnya.
Berbagai
macam pohon buah-buahan ditanam berjejeran di sepanjang selatan taman istana
raja. Pohon-pohon itu selain memberikan pemandangan indah bagi sang raja, juga
menghasilkan buah-buahan untuk disantap raja dan keluarganya.
Semua
pohon indah dan subur buahnya, namun diantara mereka hiduplah sebatang pohon
jambu yang belum pernah berbuah, dia sering pula menggugurkan daun-daunnya
sehingga abdi raja yang mengurus taman harus lelah dibuatnya.
Pada
suatu hari, pohon jambu kaget mendengar percakapan kepala abdi kerajaan yang
hendak menebangnya akibat dia tidak pernah berbuah dan hanya mengotori taman
dengan daun-daunnya yang rontok.
Pohon
jambu sedih dan menangis.
“Jambu,
kenapa kamu menangis?” tanya pohon mangga yang berdiri di sebelahnya.
“Kamu
tidak dengar percakapan mereka?” pohon jambu balik bertanya.
“Ah…itu
kan baru
rencana, bu,” kata pohon mangga.
“Tapi
aku tidak tahu lagi bagaimana aku bisa berbuah?” kata pohon jambu sedih.
Pohon
mangga menghibur pohon jambu dan mengajaknya mengikuti kebiasannya sehari-hari.
Pohon mangga berjanji akan membuat pohon jambu dapat menghasilkan buah.
Keesokan
harinya, saat abdi istana menyiram taman di istana dan pohon-pohonnya, pohon
mangga dengan senangnya menyambut semburan air dari abdi itu.
“Hei,
jambu, kamu kenapa menyembunyikan dahan-dahanmu di belakangku?” tanya mangga
saat abdi menyiram jambu.
“Dingin,
ahhh, aku malas mandi!” kata jambu.
“Kamu
sudah berjanji mengikuti kebiasaan-kebiasaanku. Ayo sekarang, cepat, berikan
dahan-dahanmu untuk disiram. Biar segar disiram dari atas dahan sampai bawah
akar kita,” perintah pohon mangga kepada pohon jambu.
Pohon
jambu dengan terpaksa akhirnya mau mandi juga dan abdi istana tersenyum melihat
pohon jambu yang tidak nakal lagi.
Tidak
lama setelah mandi, semua pohon bernyanyi-nyanyi dan menari-nari lembut
mengikuti tiupan angin yang lembut, namun pohon jambu membuat ulah lagi. Dia
melompat-lompat tidak tentu arah sehingga beberapa bagian akar-akarnya keluar
dari tanah.
"Jambu,
jangan begitu,” kata pohon mangga.
"Tidak
apa-apa, biarkan saja, sebentar lagi pasti abdi raja itu datang kemari dan
merapikan tanah-tanah yang berserakan dan akan merapikan akar-akarku kembali
masuk ke dalam tanah,” jawab jambu dengan nakalnya.
“Walah
kamu ini, kerjanya membuat orang susah,” kata pohon mangga.
“Karena
kamu sudah berjanji untuk mengikuti kebiasaanku, mulai hari ini kamu tidak
boleh seperti itu lagi,” sambung pohon mangga dengan sedikit ketus.
‘Baik…,
baiklah, aku pegang janjiku,” jawab pohon jambu.
Sebulan
telah berlalu, pohon jambu yang telah setia pada janjinya, kaget melihat
kuncup-kuncup buah jambu kecil bermunculan di dahan-dahannya.
Pohon
jambu menari-nari riang dan abdi raja yang melihatnya pun tampak senyum
sumringah.
“Pohon
jambu berbuah, pohon jambu berbuah,” teriaknya sambil berlari menghampiri
kepala abdi kerajaan.
Para
abdi datang mengerumuni pohon jambu dan raja yang sedang berjalan-jalan di
taman juga turut melihat pohon jambu.
“Aku
ingin segera menikmati buah jambu ini,” kata raja.
Pohon
jambu yang mendengar ucapan raja senang bukan kepalang karena dia yang
sebelumnya hendak ditebang sekarang menjadi salah satu pohon kesayangan raja.
Setelah
raja kembali ke ruangan istana, pohon mangga menyenggolkan dahannya ke pohon
jambu dan berkata, “hei, selamat yah kawan, kamu sudah berhasil berbuah.”
“Terima
kasih mangga, ini semua juga karena kamu. Kamu yang telah mengajarkan aku untuk
tidak nakal. Aku mengerti sekarang kita ini, pohon-pohon, membutuhkan sumber
makanan dari dalam tanah sehingga akar kita harus kuat menancap pada sumber
makanan kita ini,” kata pohon jambu.
“Dan,
jangan lupa mandi, selain menyegarkan juga karena air adalah sumber makanan
kita juga yang berguna untuk menghasilkan buah,” balas pohon mangga.
“Iya,
iya, setuju mangga,” kata pohon jambu sambil menari-nari lembut mengikuti
alunan angin sepoi-sepoi yang selalu bertiup di lembut di sekitar taman
kerajaan Mentari.
Oleh, Kumala Sukasari Budiyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar