Jumat, 02 Agustus 2013

Pohon di Istana Raja



Pada zaman dahulu kala, hiduplah beberapa pohon di istana raja negeri Mentari, pohon-pohon disana semuanya bisa berbicara dan menggerak-gerakkan bagian tubuhnya.
Berbagai macam pohon buah-buahan ditanam berjejeran di sepanjang selatan taman istana raja. Pohon-pohon itu selain memberikan pemandangan indah bagi sang raja, juga menghasilkan buah-buahan untuk disantap raja dan keluarganya.
Semua pohon indah dan subur buahnya, namun diantara mereka hiduplah sebatang pohon jambu yang belum pernah berbuah, dia sering pula menggugurkan daun-daunnya sehingga abdi raja yang mengurus taman harus lelah dibuatnya.
Pada suatu hari, pohon jambu kaget mendengar percakapan kepala abdi kerajaan yang hendak menebangnya akibat dia tidak pernah berbuah dan hanya mengotori taman dengan daun-daunnya yang rontok.
Pohon jambu sedih dan menangis.
“Jambu, kenapa kamu menangis?” tanya pohon mangga yang berdiri di sebelahnya.
“Kamu tidak dengar percakapan mereka?” pohon jambu balik bertanya.
“Ah…itu kan baru rencana, bu,” kata pohon mangga.
“Tapi aku tidak tahu lagi bagaimana aku bisa berbuah?” kata pohon jambu sedih.
Pohon mangga menghibur pohon jambu dan mengajaknya mengikuti kebiasannya sehari-hari. Pohon mangga berjanji akan membuat pohon jambu dapat menghasilkan buah.
Keesokan harinya, saat abdi istana menyiram taman di istana dan pohon-pohonnya, pohon mangga dengan senangnya menyambut semburan air dari abdi itu.
“Hei, jambu, kamu kenapa menyembunyikan dahan-dahanmu di belakangku?” tanya mangga saat abdi menyiram jambu.
“Dingin, ahhh, aku malas mandi!” kata jambu.
“Kamu sudah berjanji mengikuti kebiasaan-kebiasaanku. Ayo sekarang, cepat, berikan dahan-dahanmu untuk disiram. Biar segar disiram dari atas dahan sampai bawah akar kita,” perintah pohon mangga kepada pohon jambu.
Pohon jambu dengan terpaksa akhirnya mau mandi juga dan abdi istana tersenyum melihat pohon jambu yang tidak nakal lagi.
Tidak lama setelah mandi, semua pohon bernyanyi-nyanyi dan menari-nari lembut mengikuti tiupan angin yang lembut, namun pohon jambu membuat ulah lagi. Dia melompat-lompat tidak tentu arah sehingga beberapa bagian akar-akarnya keluar dari tanah.
"Jambu, jangan begitu,” kata pohon mangga.
"Tidak apa-apa, biarkan saja, sebentar lagi pasti abdi raja itu datang kemari dan merapikan tanah-tanah yang berserakan dan akan merapikan akar-akarku kembali masuk ke dalam tanah,” jawab jambu dengan nakalnya.
“Walah kamu ini, kerjanya membuat orang susah,” kata pohon mangga.
“Karena kamu sudah berjanji untuk mengikuti kebiasaanku, mulai hari ini kamu tidak boleh seperti itu lagi,” sambung pohon mangga dengan sedikit ketus.
‘Baik…, baiklah, aku pegang janjiku,” jawab pohon jambu.
Sebulan telah berlalu, pohon jambu yang telah setia pada janjinya, kaget melihat kuncup-kuncup buah jambu kecil bermunculan di dahan-dahannya.
Pohon jambu menari-nari riang dan abdi raja yang melihatnya pun tampak senyum sumringah.
“Pohon jambu berbuah, pohon jambu berbuah,” teriaknya sambil berlari menghampiri kepala abdi kerajaan.
Para abdi datang mengerumuni pohon jambu dan raja yang sedang berjalan-jalan di taman juga turut melihat pohon jambu.
“Aku ingin segera menikmati buah jambu ini,” kata raja.
Pohon jambu yang mendengar ucapan raja senang bukan kepalang karena dia yang sebelumnya hendak ditebang sekarang menjadi salah satu pohon kesayangan raja.
Setelah raja kembali ke ruangan istana, pohon mangga menyenggolkan dahannya ke pohon jambu dan berkata, “hei, selamat yah kawan, kamu sudah berhasil berbuah.”
“Terima kasih mangga, ini semua juga karena kamu. Kamu yang telah mengajarkan aku untuk tidak nakal. Aku mengerti sekarang kita ini, pohon-pohon, membutuhkan sumber makanan dari dalam tanah sehingga akar kita harus kuat menancap pada sumber makanan kita ini,” kata pohon jambu.
“Dan, jangan lupa mandi, selain menyegarkan juga karena air adalah sumber makanan kita juga yang berguna untuk menghasilkan buah,” balas pohon mangga.
“Iya, iya, setuju mangga,” kata pohon jambu sambil menari-nari lembut mengikuti alunan angin sepoi-sepoi yang selalu bertiup di lembut di sekitar taman kerajaan Mentari.
Oleh, Kumala Sukasari Budiyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar